Sendal Jepit Kesederhanaan

Sendal Jepit Kesederhanaan

 

Ilustrasi Sendal Jepit

 

Mungkin ada pesona tertentu yang menghubungkan rohani para penyair. Setahu saya, ada dua penyair yang terpesona pada kesederhanaan. 

Yang satu Taufiq Ismail. Yang satu lagi Emha Ainun Nadjib. 


Bulan Juni, 1979, ketika Ki Mohamad Said Reksohadiprodjo meninggal dunia, Taufiq terharu. Ia merasa kehilangan. Ia lalu menulis sajak, buat mengenang orang tua sederhana tapi memancarkan kewibawaan itu. Yang paling pertama ia ingat tentang orang tua itu ialah sandal jepitnya, yang selalu berbunyi soh, soh, soh, menggosok debu Jakarta, menggosok debu Indonesia. Di rumahnya, Taufiq mencari sepatu lari, yang ia beli di negara dunia kesatu. Harganya, tentu saja, mahal. Dan itu membuat Taufiq malu mengenang kesederhanaan Ki Mohamad Said. Penyair ini silau melihat kehidupan orang tua itu.

Ketika Mohamad Kasim Arifin, mahasiswa IPB yang selama 15 tahun "menghilang" di Waimital, P. Seram, kembali ke IPB dengan kisah suksesnya membantu petani transmigran yang miskin, Taufiq juga terharu. Kasim, sahabatnya itu, meraih keberhasilan dengan swadaya, tanpa sepeser pun bantuan dana dari pemerintah. Begitu melihat dirinya sendiri, seorang dokter hewan yang hanya bersyair-syair saja kerjanya (begitulah diakuinya dalam sajaknya untuk mengenang Mohamad Kasim Arifin), ia merasa perlu menyembunyikan wajahnya menyembul di kali Ciliwung itu. Kasim yang hidupnya tak gemerlapan itu pun, seperti halnya Ki Mohamad Said, membuatnya merasa malu, risi, dan bersalah. Getaran apakah yang membuat kita bisa merasa risau dan terpojok tak berdaya seperti itu? Mungkin cuma Taufiq sendiri yang tahu jawaban persisnya. Tapi, saya kira Taufiq mengharapkan agar kita punya lebih banyak lagi tokoh seperti Ki Mohamad Said dan Kasim Arifin. Ia, dengan kata lain, tak ingin melihat Ki Mohamad Said berangkat meninggalkan kita. Kematian memang sering bisa memberikan kenangan seperti itu. Dan, celakanya, kita seperti baru sadar, bahwa orang seperti itu penting dan kita perlukan.

Dalam "Sajak-sajak Sederhana"-nya, nampak bagaimana penyair Emha Ainun Nadjib gandrung pada kesederhanaan itu. 

"Tuhanku" katanya. "Ambillah aku sewaktu-waktu. Kematianku kehendak sederhana saja. Orang-orang menguburku hendaknya juga dengan sederhana saja."

Barangkali, ini pesan Emha. Tapi barangkali juga salah satu cermin dari pergulatan batinnya sebagai seorang seniman. Seperti Taufiq Ismail, Emha Ainun Nadjib juga kuat memperlihatkan pada kita pemihakannya pada nilai kesederhanaan.


Ketika Soedjatmoko meninggal dunia, Emha juga menulis kenangan. Ada sesuatu yang ia kagumi pada diri intelektual beken itu. Oleh karena itu, tak segan ia menyebut Soedjatmoko sebagai ulama. Benar, kata Arab itu artinya memang persis mencerminkan kehidupan Soedjatmoko: orang yang banyak ilmu. Tapi pemberian gelar ulama itu jelas memiliki konotasi lebih: bahwa almarhum bukan cuma berilmu tapi juga, dan ini yang lebih penting, mampu memberikan teladan laku bagi siapa saja.

Goenawan Mohamad bahkan menyebut Soedjatmoko bukan cuma teladan ilmu, melainkan juga teladan "laku". Bagi Soedjatmoko, apa yang dikatakan dan yang ditulis tidak cuma cermin ketangkasan berolah pikir, melainkan juga cermin pergulatan batinnya. Orang bilang, keteladanan adalah sesuatu yang hilang dari kita. Kita tak lagi punya sesuatu yang kita banggakan. Tak ada lagi sosok pribadi yang layak kita jadikan teladan. Tampil secara sederhana saja misalnya, juga sesuatu yang tak mudah. Imbauan untuk menyederhanakan hidup sebetulnya pas buat kita. Ia bukan cuma problem bagi orang kaya yang cenderung hidup gemerlapan. Orang miskin pun, entah berkat rangsangan virus apa, banyak yang tak mau tampil apa adanya. Mereka tidak gemerlap, mungkin juga memperlihatkan sikap anti pada gaya hidup itu, barangkali hanya karena belum ada kesempatan.


Benar kekaguman Taufiq pada Ki Mohamad Said, karena orang itu telah membuktikan dalam hidupnya. Ia bukan cuma orang sederhana, melainkan mungkin kesederhanaan itu sendiri.





Sumber:
Mohammad Sobary
Jawa Pos 12 Januari 1992
Read more ...

Gado-gado Cak Nun

Gado-gado Cak Nun


Malam Minggu kemarin, 20 September 2014, di lapangan Korpri Provinsi Lampung, ada hajatan budaya yang digagas teman-teman SEKALA Lampung.  Di acara tersebut, hadir teman-teman dari Galaxy Nasyid, Paduan Suara Universita Lampung, Cerpenis Lampung Mbak Yuli Nugrahani, Budayawan Lampung Isbedy Setiawan, Pak Gie Sugiyanto, Tokoh Masyarakat, Pemuka Agama, Anggota DPR, dan Budayawan Emha Ainun Najib, dan tentunya saya, sebagai penonton (sopo rek sing takok ! ... ha ha :D )

Acara dibuka dengan penampilan dari teman-teman grup Nasyid Galaxy, Paduan Suara Universitas Lampung, pembacaan puisi oleh Isbedy Setiawan dan Yuli Nugrahan.

 Galaxy Nasyid in Action

 "Muli" oleh Isbedy Setiawan

Yuli Nugrahani dengan "Menuntut Bukti"-nya


 Emha Ainun Najib, tentang Kebhinneka Manunggal Ikaan


Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama Lampung




Beberapa wacana yang tercatat di kepala, dari acara budaya bertema Kebhinneka Manunggal Ika an, yang diprakarsai  Sekala Lampung, dan kemudian saya beri judul sendiri Gado-gado dari Cak Nun, diantaranya :


1. Gado-gado itu enak, ketika bahan-bahannya berkualitas. Kolnya, kacangnya, lontongnya, kentangnya, tahunya, semuanya fresh (dan kemudian diolah dengan benar). Gado-gado enak, ketika bahan-bahan tadi tetap menjadi dirinya sendiri: Kol ya benar-benar kol, bukan kol-kolan, dan seterusnya. Demikian analogi untuk Kebhinneka Manunggal Ika an.
Jika selama ini kita terlalu terpaku dengan Kebhinnekaan, ke depan kita juga perlu memberikan porsi perhatian lebih besar terhadap Kemanunggal Ikaan. Ketika Lampung, Jawa, Sunda, Bali, menjadi lampung-lampungan, Jawa-jawaan, Sunda-sundaan, Bali-balian, dan seterusnya, apakah akan menjadi gado2 Indonesia yang berkualitas ?!
Jadi cara berfikirnya: Manunggal ika, menyatu tanpa kehilangan identitas aslinya. 

Lampung, Jawa, Bali, madura dan seterusnya itu lebih dulu ada dari yang namanya Indonesia, justru Indonesia tak akan ada tanpa semua tadi.
Maka yang dibutuhkan justru menjaga identitas itu, dan untuk kepentingan Kemanunggal Ikaan, yang dibutuhkan adalah perekat berupa "keterbukaan", "saling menerima perbedaan" ...
Saya senang mendengar sudah ada yang mulai mengumpulkan "kata-kata mutiara Lampung" ... itu merupakan modal.  (Cak Nun)

2. Dari sisi religiusitas, kalimat "Allahuakbar" adalah bentuk tertinggi ketakjuban akan pengalaman empiris. Ketakjuban dari (kesadaran) sang rendah kepada (karya) Sang Maha Tinggi. Maka rancu ketika kalimat maha sakral tersebut justru digunakan untuk kepentingan gagah-gagahan. (Cak Nun)
3. Acara semacam ini, ada baiknya dikonsep agar seperti fase-fase yang disampaikan Bapak pendidikan : "ing ngarso Sung tulodo, ing madyo mangunkarso, tut wuri handayani". ketika semakin ke sana porsi saya dan kita yang tua-tua semakin sedikit, dan bisa digantikan dengan yang muda-muda ini, itu berarti acara yang digagas Skala Selampung dan komunitas-komunitas yang hadir di sini, semakin berhasil (Cak Nun)
4. Kearian lokal, Filsafat lampung "Piil Pasenggiri", dari yang saya alami dalam keluarga saya, terutama dari Ibu saya, lebih bermakna sebagai "gengsi" yang diukur sebagai segi Kemanfaatan orang Lampung terhadap dirinya dan orang lain (Advokad Lampung, dulunya orang teater -- namanya lupa)
5. Pluralitas itu realitas, menolaknya berarti menolak realitas. Realitas yang bersumber dari Sang Sumber hidup. Jika punya pendirian demikian silahkan resikonya ditanggung sendiri (Corat-coret Penulis).

Dan satu pesan Cak Nun, ketika aktivitas ini diselenggarakan menjadi rutin, idealnya peran Cak Nun dan para tokoh senior semakin sedikit porsinya, seiring meningkatnya porsi peran generasi muda Lampung.  

Itulah corat-coret ide, pemikiran, wacana tentang Kebhinneka Tunggal Ika an yang sempat tercatat dalam artikel Gado-gado Cak Nun ini.  Semoga hajatan semacam ini bisa diselenggarakan secara terus menerus, untuk membuat Lampung, Indonesia lebih sejuk, lebih damai, dengan berpijak pada budaya Indonesia itu sendiri.




Tabik pun !

Salam Hangat,



Thomas Pras









Read more ...